GENDER

Bookmark and Share



Sejak beberapa tahun terakhir kata gender telah memasuki perbendaharaan di setiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial dan pembangunan di Dunia Ketiga. Demikian juga di Indonesia, hampir semua uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan di kalangan organisasi non pemerintah diperbincangkan masalah gender. Apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan gender itu ? Dari pengamatan, masih terjadi ketidakjelasan, kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya dengan usaha emansipasi kaum perempuan. Setidak-tidaknya ada beberapa penyebab terjadinya ketidakjelasan  tersebut.


Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Kalau dilihat dalam kamus, tidak jelas dibedakan pengertian antara kata seks dan gender. Sementara itu belum ada uraian yang mampu menjelaskan secara singkat dan jelas mengenai konsep gender dan mengapa konsep tersebut penting guna memahami ketidakadilan sosial. Dengan kata lain timbulnya ketidakjelasan itu disebabkan oleh kurangnya penjelasan tentang kaitan antara  konsep gender dengan masalah ketidakadilan lain yang ditimbulkannya.


Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia dengan jenis kelamin  laki-laki adalah manusia yang memiliki  seperti daftar berikut : memiliki penis, memiliki jakala, dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim, leher rahim, vagina, alat untuk menyusui dan memproduksi sel telur. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis kelamin perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.  Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yakni sifat-sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara itu, laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat diperdekatkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang rasional, kuat dan perkasa. Perubahan ciri sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat satu ke tempat yang lain. Misalnya saja jaman dahulu di suatu suku tertentu perempuan lebih kuat dari laki-laki, tetapi di tempat yang lain atau bisa juga di jaman yang lain laki-laki lebih kuat daripada perempuan. Juga perubahan itu bisa terjadi dari satu kelas masyarakat ke kelas masyarakat yang lain. Di suku tertentu, perempuan kelas bawah di pedesaan lebih kuat dibandingkan kaum laki-laki. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda di berbagai tempat, maupun yang berbeda diantara kelas-kelas masyarakat itulah yang dikenal dengan konsep gender.


Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis dan tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan.


Sebaliknya, melalui dialetika, konstruksi sosial gender yang tersosialisasikan secara evolusionar dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin. Misalnya, karena konstruksi sosial gender, kaum laki-laki harus bersifat kuat dan agresif maka kaum laki-laki kemudian terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju ke sifat gender yang ditentukan oleh suatu masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya, karena kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh terhadap perkembangan emosi dan visi serta ideologi kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya. Karena proses sosialisasi dan rekonstruksi berlangsung secara mapan dan lama, akhirnya menjadi sulit dibedakan apakah sifat-sifat gender itu dikonstruksi oleh masyarakat atau kodrat biologis yang ditentukan Tuhan. Namun, dengan menggunakan pedoman bahwa setiap sifat biasanya melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat-sifat tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat-sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyrakat dan sama sekali bukanlah kodrat.


Dalam menjernihkan perbedaan antara seks dan gender ini, yang menjadi masalah adalah terjadi kerancuan dan pemutarbalikkan makna tentang apa yang disebut seks dan gender. Misalnya saja sering diungkapkan bahwa mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan rumah tangga atau urusan domestik sering dianggap sebagai “ kodrat wanita “. Padahal kenyataannya bahwa perempuan memiliki peran gender dalam mendidik anak, merawat dan  mengelola rumah yang sebenarnya adalah konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, boleh jadi urusan mendidik anak dan merawat kebersihan rumah tangga bisa dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena jenis pekerjaan itu bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal, maka apa yang disebut sebagai “ kodrat wanita “ seperti disebutkan diatas adalah gender.


Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian Tuhan, apakah laki-laki atau perempuan. Tetapi jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Interpretasi ini lebih dikenal dengan sebutan gender. Gender adalah seperangkat peran yang, seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Perangkat perilaku khusus seperti penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya, secara bersama-sama memoles “peran gender” kita. Untuk memahami bagaimana gender mempengaruhi kita, bisa dilihat dengan keyakinan kita terhadap kebutuhan individu yang “mandiri” dimodifikasi oleh kebutuhan orang lain (pada dasarnya orang itu adalah makhluk sosial). Salah satu yang paling menarik mengenai peran gender adalah, peran-peran itu berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur yang lain. Peran itu juga sangat dipengaruhi oleh kelas sosial, usia, dan latar belakang etnis.


Perbedaan jalan perkembangan peran gender dalam masyarakat disebabkan oleh berbagai macam faktor, mulai dari lingkungan alam, hingga cerita dan mitos-mitos yang digunakan untuk memecah teka-teki perbedaan jenis kelamin. Sejumlah studi mengenai kerja di berbagai masyarakat telah dilakukan. Dalam studi itu tampak bahwa sedikit sekali kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki, bahkan lebih sedikit dari yang selalu dikerjakan oleh perempuan. Dalam beberapa masyarakat, kaum perempuan membajak tanah dan laki-laki memasak. Di masyarakat lainnya laki-laki membuat baju dan perempuan membangun rumah. Lain lagi yang terjadi di masyarakat yang berbeda. Salah satu masalah sekitar penggunaan materi lintas kultural terhadap peran gender adalah karena, hingga saat ini, sebagian besar antropolog mendapat pendidikan di Barat dan cenderung melihat semua masyarakat di pandang dari segi pola kekuasaan laki-laki yang lazim dalam dunia Barat.


Di seluruh dunia, perempuan dan laki-laki melakukan tugas yang berbeda-beda meskipun tugas yang dilakukan oleh gender berubah-ubah. Pembagian kerja berdasarkan gender dipahami oleh para perencana pembangunan dan ini memiliki konsekuensi penting atas jenis pembangunan yang akan dilakukan. Dikawasan masyarakat petani Selatan, pembagian ini bermanfaat untuk kelangsungan hidup keluarga dan adaptasi dengan lingkungan tertentu. Kerja perempuan bisa dilihat sebagai hal yang sama bernilainya dengan kerja laki-laki, sehingga dalam hal ini tampak sekali perekonomian uang diperkenalkan, keseimbangan antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan mulai berubah.  Keadaan ini dipengaruhi oleh ideologi Eropa dan stereotipe gender, yakni perempuan hanya bekerja di rumah dan tidak diluar rumah (housewife) sedangkan laki-laki adalah pencari nafkah (breadwinner). Akan tetapi, masalah yang lebih luas adalah bahwa banyak perencanaan pembangunan tidak mempertimbangkan perspektif perempuan yang bersangkut paut dengan sesuatu projek kecuali kalau projek itu secara khusus di rancang untuk memberi keuntungan kepada mereka. War on Want menegaskan: “tidak ada bukti bahwa peremepuan dipertimbangkan…ketika projek ini…direncanakan, dinilai, dilaksanakan atau dievaluasi”. Studi ODI mengenai 16 projek dengan menitikberatkan perhatian kepada pembangunan ekonomi dikawasan pedesaan Banglades, India, Uganda, dan Zimbabwe menemukan bahwa “bertolak belakang dengan harapan, sedikit sekali bukti yang tersedia untuk mengatakan bahwa keseluruhan projek tersebut benar-benar memperbaiki status ekonomi dan sosial perempuan”.


Kerja perempuan dalam reproduksi, kerja ekonomi produktif, dan manajemen komunitas disebut “tiga serangkai peran perempuan”. Arti penting kerja ini seringkali dikaburkan  oleh pandangan tentang kerja reproduktif yang menempatkannya sebagai bagian “alami” biologis perempuan, dan bukan memandangnya sebagai aspek peran gender yang ditentukan secara sosial. Akan tetapi peran ibu rumah tangga mulai diperhitungkan ketika proses industrialisasi memungkinkan laki-laki meniru kelompok kaya aristokrat dan memiliki ibu rumah tangga yang tidak perlu bekerja tetapi bisa mewakili status dan kekayaan suami. Yang jelas, mitos bahwa pencari nafkah laki-laki dan perempuan sebagai ibu rumah tangga adalah pengaturan normal atau yang paling baik bagi manusia masih melekat dengan kuat, walaupun banyak sekali bukti yang memperlihatkan kebalikannya.


Bila kita melihat masyarakat di luar kawasan industri (negara-negara Barat), dimana ideologi individualitas dan kebebasan individu tidak begitu dominan, kenyataan bahwa peran gender tidak bersandar pada kehendak individu tetapi semata-mata kepada struktur masyarakat, menjadi jauh lebih jelas. Kaum perempuan yang menulis dalam dokumen Women living under Muslim laws menyatakan bahwa…banyak…perempuan tidak memiliki pilihan sama sekali untuk menentukan arah kehidupan dewasanya sendiri – pertama-tama mereka diatur oleh ayah dan ibunya, dan kemudian oleh suami dan mertuanya. Alasan mengapa sulit menolak peran gender, karena sebagian besar masyarakat di dunia ini adalah patriarkal, dan melalui stuktur kekuasaan itu, posisi subordinat perempuan di junjung tinggi dan dikekalkan oleh para gender tradisional. Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat, dan pada dasarnya perempuan tercabut dari akses terhadap kekuasaan itu. Patriarki merembes ke semua aspek masyarakat dan sistem sosial. Salah satu contoh yang menjunjung tinggi perbedaan gender adalah keluarga. Kendati adanya variasi dalam struktur keluarga, dan semakin banyaknya jumlah rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan, kebanyakan masyarakat berharap bahwa perempuan yang terikat dalam perkawinan tunduk kepada kepala rumah tangga laki-laki. Salah satu konsekuensi dari posisi subordinat perempuan adalah perkembangan keutamaan anak laki-laki, keutamaan yang amat maju di India, Pakistan, dan Banglades; dan hal ini sangat berpengaruh atas rasio jenis kelamin dalam populasi. 


Beberapa hal yang mendukung adanya perbedaan gender:


  1. Akses terhadap kekayaan. Tidaklah mengejutkan bila perempuan diseluruh dunia tidak memiliki akses yang setara dengan akses yang dimiliki oleh laki-laki terhadap tanah, dan sangat sedikit sekali perempuan yang memiliki kontrol penuh terhadap tanahnya yang berhasil diperoleh atas usahanya sendiri. Di Peru,Bolivia, dan Paraguay, menurut hukum Islam, waris yang diterima oleh anak perempuan dibatasi setengah dari yang diterima oleh anak laki-laki.

  2. Seksualitas. Dalam hal seksualitas, kaum perempuan juga merasa dirinya terlalu dikendalikan. Hal inilah yang menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada kaum perempuan sebagai istri karena kesewenang-wenangan suami.

  3. Kekerasan terhadap perempuan. Perkosaan dan pemukulan, serta pembuatan pornografi, menimbulkan rasa malu dan mengintimidasi perempuan; ketakutan akan kekerasan menghalangi banyak perempuan mengambil inisiatif dan mengatur hidup yang akan dipilihnya. Ketakutan terhadap kekerasan merupakan salah satu faktor kunci yang menghambat perempuan ikut terlibat dalam pembanguanan.

  4. Tabu ritual, Tradisi dan KulturalSecara tradisional, gagasan yang dianut tentang perilaku gender yang tepat bisa sangat mempengaruhi kehidupan perempuan, yang makin menguatkan pola-pola gender dalam masyarakat. Sebagian antropolog berpendapat bahwa gender merupakan basis sistem sosial ganda; struktur masyarakat secara keseluruhan, keyakinan dan perilaku yang bergantung kepada gagasan tentang perbedaan mendasar antar dua jenis kelamin. Di Kabylia, Aljazair, antropolog sosial Prancis, Pierre Bourdieu menunjukkan bagaimana jarak sosial dan fisik terpilah sesuai dengan persepsi peran laki-laki dan perempuan – rumah dibagi dua oleh dinding rendah, sebagian yang tinggi untuk kegiatan kultural “laki-laki”, sebagian yang lebih rendah untuk kegiatan kultural “keperempuanan”.

  5. Agama.  Agama merupakan batu fondasi perbedaan gender. Walaupun ada bukti dalam sepanjang sejarah Kristen, dimana permepuan memainkan peran kepemimpinan dalam komunitasnya, tradisi Kristen menentang gagasan tersebut. Bagi perempuan Hindu, terdapat Manu, diktum pemberi hukum – “sejak ayunan hingga liang lahat seorang perempuan tergantung pada laki-laki: dimasa kanak-kanak tergantung pada ayahnya, dimasa muda tergantung suaminya, dimasa tua kepada anak laki-lakinya”.Dengan menekuni persoalan –persoalan gender,ada beberapapermasalahan tafsiran keagamaan , dalam hal ini Islam,  yang dianggap strategis agar segera mendapat perhatian untuk dilakukan kajian. Pertama, yang menyangkut persoalan subordinasi kaum perempuan akibat penafsiran yang meletakkan kaum perempuan dalam kedudukan dan martabat yang tidak subordinatif terhadap kaum laki-laki. Padahal pada dasarnya semangat hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam bersifat adil (equal). Oleh karena itu subordinasi kaum perempuan merupakan suatu keyakinan yang berkembang di masyarakat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ayat Tuhan dalam al-Qur’an, surat al-Hujurat ayat 14 yang berbunyi :Sesungguhnya telah Aku ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan Aku jadikan kalian berbangsa dan bersuku-suku agar kalian lebih saling mengenal ; sesungguhnya yang mulia diantara kalian adalah yang paling taqwa.Masih banyak lagi ayat al-Qur’an yang mendukung pandangan bahwa kaum perempuan tidaklah subordinasi terhadap kaum laki-laki, seperti surat at-Taubah ayat 71; an-Nisa ayat 123 ; surat Ali Imran ayat 195 dan surat an-Nahl ayat 97 .Kedua, pemahaman mengenai bias gender selain meneguhkan subordinasi kaum perempuan juaga membawa akibat pada persoalan waris dan kesaksian, dimana nilai kaum perempuan dianggap separuh dari kaum laki-laki. Untuk membahas ini perlu dilakukan analisis konteks sosial terhadap struktur sosiokultural pada saat ayat tersebut diturunkan, sehingga pemahaman masalah waris dan kesaksian tidak bertentangan dengan prinsip keadilan yang disampaikan dalam ayat-ayat tersebut di atas. Umumnya mereka yang menekuni masalah keadilan gender tidak melihat angka pembagiannya melainkan semangat keadilannya. Sehingga demi mencapai keadilan, merubah angka yang sesuai dengan sistem dan struktur sosial dewasa ini pun perlu dilakukan.Ketiga, segenap ayat yang berkenaan dengan hak produksi dan reproduksi kaum perempuan. Dalam tradisi penafsiran Islam yang tidak menggunakan perspektif gender, kaumperempuan sama sekali tidak memiliki hak berproduksi maupun bereproduksi yakni untuk mengontrol organ reproduksi mereka. Untuk itu usaha untuk menafsirkan kembali agar terjadi keadilan gender dalam hak-hak reproduksi perlu mendapat perhatian.

  6. Kultur bekerja. Diskriminasi gender dalam kultur bekerja tidak hanya berkisar pada laki-laki sebagai bos dan perempuan sebagai sekretaris. Diskriminasi gender diluar rumah tangga menyentuh hampir semua kerja produktif ekonomis yang dilakukan kaum perempuan di Selatan. Dalam sektor manufaktur, dimana mempekerjakan perempuan secara besar-besaran merupakan salah satu aspek pembagian kerja internasional yang sedang berubah, misalnya dalam sektor informal seperti pariwisata dan pelacuran.

  7. Sistem hukum. Sistem hukum diseluruh dunia mendukung dan memperkuat perbedaan gender. Perempuan yang hidup di negara Islam memiliki hak yang berbeda dengan yang dinikmati oleh laki-laki, sekalipun hukum pidana menawarkan perlakuan yang sama.

  8. Pendidikan. Jumlah pendidikan yang diterima anak gadis berbeda dari satu negara dengan lainnya. Di Afrika sub-Sahara,93% anak laki-laki terdaftar di tingkat sekolah dasar,tetapi anak gadis hanya 77%. Berbeda dengan Amerila Latin dan Karibia dimana anak gadis hampir semuanya terdaftar di sekolah dasar.Pada tahun 1950-1960 seorang tokoh bernama Esther Boserup mengatakan bahwa perempuan tidak hanya dibatasi oleh peran reproduktifnya sebagai seorang istri dan ibu, ia malahan melihat produktivitas mereka dan menekankan peran vital perempuan dalam ekonomi pertanian. Dengan adanya “modernisasi” (model tentang bagaimana mengubah perekonomian “terbelakang” melalui perangkat industrialisasi, urbanisasi, transfer teknologi, bantuan keuangan, dan penyatuan ekonomi), peran prempuan lambat tapi pasti mulai diakui dan diterima sebagai kemampuan yang sebanding dengan laki-laki, bahkan ada yang melebihinya. Di zaman sekarang, meskipun masih kita jumpai adanya beberapa perbedaan peran gender, akan tetapi peran seorang perempuan tidak hanya dipandang dengan sebelah mata lagi seperti zaman dahulu. Banyak sudah contoh yang berkembang dewasa ini mengenai prestasi perempuan di segala bidang termasuk bidang pembangunan.     




{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar